Minggu, 13 Juni 2010

Artikel Dakwah

PUASA ENAM IBARAT PUASA SETAHUN


Alhamdulillah kita tamat menjalani ibadah puasa sepanjang Ramadan ini. Sama-samalah kita mengharapkan mudah-mudahan Allah menerima amalan puasa kita. Di samping itu juga diharapkan agar latihan ibadah yang kita lakukan sepanjang Ramadan seperti puasa, solat sunat, sedekah, bacaan Quran dapat diteruskan dalam bulan-bulan lain sehinggalah kita bertemu Ramadan yang akan datang.

Setiap amalan ada kesan dan hasilnya. Ibadah puasa Ramadan ini mampu menjadikan kita orang yang bertakwa. Inilah intipati dari Ramadhan. Kelazatan puasa memuncak ketika berakhirnya Ramadan. Kita inginkan keberkatan Ramadan ini berpanjangan hingga setahun, tapi apalah daya ia datang hanya sebulan saja.

Sungguhpun begitu, kita masih berpeluang meneruskan puasa selepas 1 Syawal. Adalah menjadi amalan sunat mengerjakan puasa 6 hari dalam bulan Syawal. Ia boleh dilakukan mulai 2 Syawal hingga 7 Syawal secara berterusan atau mana-mana 6 hari dalam bulan tersebut. Nabi Muhammad saw. bersabda "Barangsiapa berpuasa Ramadan kemudian diikuti dengan puasa 6 hari dalam bulan Syawal, maka orang itu seolah-olah berpuasa setahun penuh."

Sebagaimana yang diketahui semua amalan sunat adalah sebagai penampal mana-mana kekurangan dalam amalan fardhu. Sayugialah kita mengambil peluang ini untuk berpuasa 6 di bulan Syawal. Selain mendapat pahala puasa setahun, kita juga dapat memperbaiki kekurangan dalam ibadat puasa bulan Ramadhan.

Bagi kaum perempuan yang tidak dapat berpuasa penuh dalam bulan Ramadan kerana kedatangan haid, puasa Sunat 6 hari dalam Syawal ini memberi peluang terbaik untuk mengqadha' di samping mendapatkan pahala berpuasa sunat. Kebiasaan mentaakhirkan qadha sehingga hampir Ramadan akan datang adalah satu amalan yang tidak sepatutnya dilakukan. Amalan wajib jika ditinggalkan mestilah disegerakan sebagai menunjukkan sikap pengabdian diri kita terhadap Allah. Apakah makna dan tujuan kita melambatkan qadha' puasa wajib? Tidak lain menunjukkan seolah-olah kita keberatan untuk menunaikan kewajipan yang telah kita tinggalkan. Bukankah Allah tahu apa yang tersirat di hati kita?

Natijah (hasil) dari amalan puasa ialah taqwa dan kasih akan Allah. Tanda kasih akan Allah ialah berkhidmat kepadaNya. Siapa mencintai Allah dia akan berbahagia di alam akhirat, sebaliknya siapa mencintai dunia dan isinya, ketahuilah dunia akan meninggalkan kita. Kelazatan dunia walaupun bagus tetapi ia tidak kekal. Ia berakhir sebaik saja kita menemui ajal. Sebaliknya kelazatan akhirat kekal abadi tanpa batasan waktu.

Di antara tanda kita mengasihi akan Allah ialah mulut sentiasa berzikir (mengingati / menyebut) Allah, hati tidak lalai mengingati sesuatu selain Allah. Setiap amalan yang dilakukan diperiksa terlebih dulu adakah untuk nafsu atau Allah. Mana yang dirasakan untuk Allah diteruskan. Apabila melihat sesuatu hati terus teringat kepada Allah yang menjadikannya. Selain itu, sentiasa mendampingi orang alim (ulama) kerana mereka ialah pewaris nabi. Kita sedar kita adalah bersama orang yang kita cintai di akhirat nanti. Jika hati menyintai nabi dan para ulama, insyallah kita bersama mereka di akhirat. Bagaimana pula agaknya kalau kecintaan beralih kepada para artis dan penyanyi?

Sebagai akhirnya, sama-samalah kita berdoa supaya kita dapat bertemu Ramadan tahun depan dan seterusnya.

"Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang yang merindui Ramadan kerana kami sedar di syurga terdapat sebuah pintu bernama Ar-Rayyan yang tidak boleh dimasuki oleh sesiapa kecuali orang yang berpuasa saja. Kami juga sedar Ya Allah bahawa puasa merupakan benteng terkuat dari azab neraka. Oleh itu jadikanlah kami orang yang rajin mengerjakan puasa wajib dan sunatnya. Kau peliharakanlah kami dari azab api neraka yang tidak mampu bagi kami untuk menanggungnya. " Amin.

Jumat, 11 Juni 2010

Dakwah Tanpa Ilmu Tidak Akan Istiqomah Selamanya

Dakwah Tanpa Ilmu Tidak Akan Istiqomah Selamanya

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kita sering menemukan sebagian da’i memiliki perhatian terhadap dakwah ke jalan Allah dan ukhuwah di jalan Allah serta saling mencintai di dalamnya, namun tidak memperhatikan persoalan ilmu dan tafaqquh dalam perkara-perkara Ad-Dien dan aqidah serta dalam menghadiri majlis-majlis ilmu, maka apakah komentar Syaikh terhadap hal ini.

Jawaban Komentar saya terhadap hal itu adalah : Saya mengatakan bahwa bekal paling pertama yang wajib dipegangi oleh seorang da’i adalah hendaknya menjadi seorang yang berilmu. Karena meremehkan urgensi ilmu artinya seseorang akan tetap dalam kondisi bodoh, dan dakwahnya menjadi buta tanpa mengetahui apa yang benar di dalamnya. Jika dakwah itu berdiri di atas kebodohan maka setiap orang akan memberikan hukum sesuai dengan apa yang didiktekan oleh akalnya, yang ia sangka benar padahal salah. Maka saya berpendapat bahwa pandangan ini adalah salah ! Wajib ditinggalkan, dan hendaknya seseorang tidak berdakwah kecuali setelah mempelajari [apa yang ia akan dakwahkan]. Oleh karena itu Imam Al-Bukhari Rahimahullah telah membuat bab yang semakna dengan ini dalam kitab Shahihnya dengan menuliskan : Bab Ilmu Sebelum Berkata dan Beramal, lalu beliau menjadikan dalil firman Allah SWT “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan [Yang Haq] melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi [dosa] orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan” Maka seseorang haruslah mengetahui terlebih dahulu lalu kemudian mendakwahkannya.Adapun dakwah tanpa landasan ilmu tidak akan istiqomah [konsisten] selamanya. Tidakkah Anda melihat jika kita keluar dari Jeddah dan berangkat menuju Riyadh, lalu kita menunjuk seseorang yang kita ketahui sebagai orang yang memiliki prilaku dan niat yang baik, lalu kita katakan padanya “Kami ingin Anda menunjukkan pada kami jalan ke Riyadh”. Namun ia sebenarnya tidak mengetahui jalannya. Maka iapun membawa kita ke perjalanan yang jauh dan panjang, hingga kita letih dan lelah, dan hasilnya adalah bahwa kita tidak sampai ke kota Riyadh. Kenapa Karena orang itu tidak mengetahui jalannya. Maka bagaimana mungkin dapat menjadi petunjuk jalan untuk [mengetahui] syariat seseorang yang tidak mengetahui syariat tersebut Ini tidak mungkin selama-lamanya. [Disalin dari kitab Ash-Shahwah Al-Islamiyah Dhawabith wa Taujihat, edisi Indonesia Panduan Kebangkitan Islam, Penulis Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darul Haq]

Evaluasi Dakwah

Evaluasi Dakwah

Evaluasi dakwah adalah suatu proses pengumpulan data menganalisis informasi tentang efektifitas dan dampak dari suatu tahap atau keseluruhan program. Ada juga yang mengemukakan bahwa evaluasi dakwah adalah meningkatkan pengertian manajerial dakwah dalam sebuah program formal yang mendorong para menejer atau pemimpin dakwah untuk mengamati perilaku anggotanya, lewat pengamatan yang lebih mendalam yang tidak dapat dihasilkan melalui saling pengertian diantara kedua belah pihak.

Selain penjelasan tentang pengertian evaluasi dakwah saya juga akan memaparkan prosedur evaluasi kegiatan dakwah, yaitu :

1. Menetapkan standar atau tolak ukur

Dengan alat pengukur itu barulah dapat dikatakan berhasil atau tidaknya tugas dakwah

2. Rencana evaluasi

Dalam melakukan evaluasi biasanya dikaitkan dengan model-model evaluasi yang akan digunakan, yaitu :

Ø Evaluasi Input

a) Peserta program, meliputi mad’u

b) Tim or staff, meliputi Da’I dan manajerial

c) Program, meliputi durasi

Terkait evaluasi input ada 4 kriteria :

1) Tujuan dakwah

2) Penilaian terhadap kebutuhan komunitas

3) Standar dari suatu praktek yang terbaik

4) Biaya untuk pelaksanaan program

Ø Evaluasi Proses

Evaluasi ini dilakukan untuk menilai bagaimana proses kegiatan yang telah dilakukan sesuai dengan rencana yang telah dirumuskan, evaluasi ini memfokuskan pada aktifitas interaksi antara mad’u dengan da’i.

Ø Evaluasi Akhir

Evaluasi ini dilakukan untuk menilai seberapa jauh tujuan-tujuan yang sudah direncanakan telah tercapai.

3. Mengumpulkan data

Tahapan selanjutnya adalah mengumpulkan data, pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, angket, studi dokumentasi dan pengamatan.

4. Menganalisis data

Menganalisis data dapatc dilakukan melalui 2 pendekatan yaitu pendekatan kulitatif dan pendekatan kuantitatif.

5. Menyajikan hasil analisis

Setelah semua ini selesai barulah kita menyajikan hasil analisis, cara menyajikan analisis ada 2 melalui laporan, yaitu laporan secara lisan dan laporan secara tertulis.

Untuk mengetahui apakah dakwah itu berhasil atau tidak, gagal atau tidak, harus ada proses evaluasi yang cermat, teliti, dan objektif dengan menetapkan parameter-parameter keberhasilan atau ketidak berhasilan suatu aktifitas dakwah, dan dari hasil evaluasi secara objektif dapat dijadikan sandaran atau patokan untuk menyusun langkah-langkah strategi dakwah yang lebih efektif pada masa berikutnya, dan isyarat untuk mengadakan evaluasi terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok “. (QS. Al – Hasyr 59 ; 18 )

Dari ayat tersebut dapat difahami bahwa perlu adanya suatu proses evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilakukan, untuk merencanakan hidup yang lebih baik dimasa-masa yang akan dating, termasuk kegiatan dakwah yang telah dilakukan perlu di evaluasi.

Kunci Kesuksesan Dakwah

Kunci Kesuksesan Dakwah

Berdakwah merupakan kewajiban setiap muslim. setiap orang yang telah mengikrarkan 2 kalimat syahadat memikul tugas untuk menyampaikan kebenaran yang telah diyakininya kepada orang lain.[1] Karena hakekat dakwah adalah menunjukan jalan menuju kebenaran. Ibarat seorang musafir tentu ia membutuhkan petunjuk dalam perjalanannya agar sampai di tujuan tanpa tersesat. Maka para rasul pun di utus ke bumi untuk menunjukkan umatnya jalan menuju kebenaran. dan kewajiban ini terus menerus dibebankan kepada umatnya setelah wafatnya.

Dakwah bukanlah sebuah profesi yang hanya dilakukan sebagian orang saja sebagaimana dipahami banyak orang. Namun ia merupkan manifestasi keimanan setiap orang yang mengaku muslim. Memang untuk dapat menyampaikan dakwah kepada umat secara baik dan benar seseorang dituntut untuk memiliki kapasitas keilmuan yang memadai disamping faktor-faktor penunjang lainnya. Namun, seseorang tak perlu menjadi seorang kiai atau ulama terlebih dahulu untuk boleh berdakwah. Bahkan kewajiban menyampaikan itu tidak gugur hanya dikarenakan seseorang merasa belum memiliki ilmu yang cukup. Hal ini ditegaskan oleh sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya : “ Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat “ (HR. Bukhari)

a. Kunci Keberhasilan Dakwah

Rahasia dakwah yang sukses terletak pada diri seorang Da’I, karena manusia lebih cenderung mempercayai bahasa kepribadian dari pada bahasa lisan. Seseorang bisa saja berjam-jam berorasi dihadapan banyak orang dengan gelora semangat yang membangkitkan emosi para pendengar, namun setelah ia turun dari mimbarnya justru apa yang baru saja disampaikannya ditolak mentah-mentah karena kepribadiannya bertolak belakang dengan apa yang di ucapkannya. Lisanul hal ablaghu min lisanil maqal. Demikian para ahli hikmah mengatakannya.

Di bawah ini terdapat 10 kunci keberhasilan dakwah. Diantaranya yaitu :

1. Mengangkat teladan Nabi Muhammad SAW

Mengangkat suri tauladan rasul juga dapat digunakan sebagai pendorong dalam belajar berdakwah islamiyyah, agar dapat senang dan bergairah dalam mengikuti ajaran dan praktek-praktek keagamaan yang diterima sehingga secara pasti tahap demi tahap hati dan pikiran mereka terbuka.

2. Mempersiapkan bekal dakwah

Sebelum kita melakukan dakwah hendaknya kita mengadakan persiapan-persiapan yang matang baik itu mental, spiritual dan segala sesuatu yang diperlukan dalam berdakwah. Dalam berdakwah hendaklah didasari dengan hati yang ikhlas disertai semangat yang tinggi

3. Seorang Da’I harus ikhlas berdakwah karena Allah

Penggerak utama dari dakwah islamiyyah yaitu Ikhlas, sedangkan penuntunnya adalah berserah diri, dalam berserah diri hendaklah disertai sunyi dalam berfikir dan mengambil kegunaan serta hasil dari harta kekayaan yang kita miliki semata-mata, maupun keuntungan-keuntungan lainnya dari segala usaha kita yang bersifat sementara saja. Seperti yang dicontohkan Rasul. Seperti hadist berikut “ ketahuilah bahwa aku tidaklah akan menghimpun uang, baik dinar maupun dirham, juga tidak akan menyimpan suatu rejeki untuk hari esok “. [2] ( HR. Imam Abusy-Syekh )

4. Berusaha untuk mendidik diri sendiri

Tidak diragukan lagi bahwa dakwah islamiyyah ini merupakan suatu hakikat, sifatnya ialah mengadakan perubahan secara total, menyeluruh dan terpadu. Oleh karena itu hendaknya perubahan itu diikuti dengan perjuangan yang semaksimal mungkin. Mendidik diri sendiri secara garis besarnya antara lain yaitu, mendidik diri pribadi dengan kesabaran dan keteguhan hati serta kemuan yang keras untuk berbuat baik, selalu kembali kepada Allah, menjadi pribadi berbudi luhur, selalu menghiasi diri dengan memberikan suri tauladan yang baik dengan berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, selalu berjuang, rela berhijrah, dermawan dan lebih mementingkan orang lain serta ikhlas.

5. Adanya konsisten dengan kode-kode etika

Macam-macam kode etik dakwah yang bersumber dari Al- Qur’an adalah tidak memisahkan antara perkataan dan perbuatan, tidak melakukan kompromi dalam masalah agama, tidak mencerca non muslim, tidak memungut imbalan, tidak melakukan diskriminasi sosial, tidak mengawini pelaki atau wanita maksiat[3]

6. Selalu bersandar kepada Allah

Berjuang untuk mendidik diri sendiri agar senantiasa kembali kepada Allah adalah dengan selalu menyibukan diri untuk berdzikir mengingat Allah SWT. Memanjatkan doa-doa kehadirat-Nya dalam setiap keadaan, serta memperbanyak bacaan istighfar, bertaubat dan mengembalikan segala urusannya kepada-Nya saja, semua itu adalah landasan yang layak bagi seorang da’i.

7. Akhlak da’i

Pendekatan dakwah melalui akhlak seorang Da’I dengan qudwah yang baik, senang didekati, pendiam dan serius, sopan, dihormati dan disegani, sedikit tertawa dan senda gurau, tidak plin plan, halus budi bahasa, tidak mencampuri urusan pribadi orang, menjauhi ucapan-ucapan jorok, kasar dan keji.[4]

8. Kondisi psikologi mad’u

Kondisi psikologi masyarakat mudah disentuh dan dalam kondisi yang haus akan disirami rohani, dan mereka terlanjur memiliki persepsi positif terhadap da’i. sehingga pesan dakwah yang sebenarnya kurang jelas, ditafsirkan sendiri oleh masyarakat dengan penafsiran yang jelas.[5]

9. Hijrah

Ajakan menuju hijrah dengan meninggalkan tanah air dan berpisah dengan keluarga bilamana situasi dan kondisinya memerlukan akan hal itu maka pergilah. Sesungguhnya orang yang berdakwah menuju jalan allah tidaklah merasa sakit atau susah, jika kematianlah yang akan dihadapinya nanti.[6]

10. Menjauhi hal-hal tidak simpatik

Seringkali Da’I melakukan kesalahan-kesalahan tidak simpatik atau kurang simpatik dan ia tidak memperhatikannya. Kesalahan-kesalahan ini diantaranya yaitu, menggurui, sombong, membicarakan diri sendiri, menggunjing, egoisme, mengibul, emosional, dan kikir, [7]

Tidaklah benar kalau keberhasilan dakwah hanya diukur dari banyaknya jamaah yang hadir pada suatu upacara keagamaan, karena banyaknya jama’ah yang hadir hanyalah salah satu dari indikator saja. Keberhasilan dakwah dapat diukur dari munculnya kesadaran keberagamaan pada masyarakat akibat adanya dakwah, baik kesadaran yang berupa tingkah laku, sikap ataupun berupa keyakinan.



[1] Bekal dakwah akhwat, Haidar Quffah

[2] Tarikhul Hawadist Wal Ahwal An Nabawiyyah

[3] Lihat ibid

[4] Buku Amal Jama’I hal. 34-35

[5] Ibid

[6] Kitab Muhammadur Rasulullah, kitab sejarah islam

[7] Langkah-langkah dakwah ke jalan Allah hal 95- 99